Medan, Kasus suap 100 anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 hingga kini masih menyisakan pertanyaan besar terkait penegakan hukum di Indonesia.
Meskipun 64 anggota DPRD Sumut telah menjalani hukuman, tetapi 36 anggota lainnya dan sejumlah pejabat eksekutif yang diduga terlibat sebagai pengepul dana suap masih bebas berkeliaran.
Kondisi ini menimbulkan kecurigaan akan adanya diskriminasi hukum dan lemahnya penegakan hukum oleh KPK.
Tohonan Silalahi, sebagai salah satu mantan anggota DPRD Sumut yang telah menjalani hukuman, menjadi representasi dari 64 anggota yang telah diproses hukum.
Namun, ketidakhadiran 36 anggota lainnya dan para pejabat eksekutif yang diduga sebagai aktor utama dalam kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa mereka luput dari proses hukum?
Apakah ini merupakan bentuk diskriminasi yang sistematis? Atau terdapat kekuatan yang melindungi mereka dari jeratan hukum?
Daftar nama-nama pejabat eksekutif yang diduga terlibat sebagai pengepul dana, seperti Sekda Pemprov Sumut Nurdin Lubis, Ka. Biro Keuangan Pemprov Sumut Baharuddin Siagian, Sekretaris DPRD Sumut Randiman Tarigan, Bendahara Pemprov Sumut Ahmad Fuad Lubis, dan pengusaha Anwar Al Haq, telah tercantum dalam buku KPK-RI berjudul “Jejak Korupsi Politik & Hukum”.
Namun, hingga saat ini, mereka belum juga diproses secara hukum. Ketidakjelasan ini semakin memperkuat dugaan adanya ketidakadilan dan lemahnya komitmen KPK dalam memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Ketidakberesan ini bukan hanya soal jumlah anggota DPRD yang diproses hukum, melainkan juga soal peran para pejabat eksekutif yang diduga sebagai dalang di balik kasus suap ini.
Mereka yang seharusnya menjadi pengawas dan pelayan publik, justru diduga terlibat aktif dalam praktik korupsi yang merugikan keuangan negara dan mengkhianati amanah rakyat.
Keberadaan mereka yang masih bebas berkeliaran menimbulkan pertanyaan: apakah KPK memiliki kendala tertentu dalam memproses mereka? Apakah ada intervensi atau tekanan dari pihak tertentu yang menghalangi proses hukum?
Dugaan adanya “titipan” atau intervensi politik dalam penanganan kasus ini semakin menguat.
Jika KPK benar-benar berkomitmen untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, maka kasus suap 100 DPRD Sumut ini harus menjadi prioritas utama.
Ketidaktegasan KPK dalam memproses para pejabat eksekutif yang diduga terlibat menimbulkan kesan bahwa mereka kebal hukum dan dapat menghindari tanggung jawab atas perbuatannya.
Hal ini jelas merusak kepercayaan publik terhadap KPK dan sistem peradilan di Indonesia.
Kepercayaan publik terhadap KPK dan sistem peradilan akan semakin tergerus jika kasus ini dibiarkan menggantung.
Kejelasan dan transparansi dalam proses hukum sangat diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul harus dijawab secara tuntas dan transparan.
KPK harus menunjukkan komitmennya dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu, tanpa terkecuali terhadap pejabat tinggi sekalipun.
Ketidakadilan hukum dalam kasus ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merusak citra Indonesia di mata dunia. Langkah tegas dan transparan dari KPK sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan publik dan menegakkan keadilan.
Sumber Tohonan Silalahi
Ditulis oleh Rahmat Hidayat